Minggu, 29 September 2013

Bagian 1: MENGETUK GERBANG FILSAFAT

Selamat siang,

Blog ini saya tujukan kepada Anda, para Mahasiswa saya, sebagai pelengkap materi kuliah berikut melengkapi buku pegangan bertajuk, "Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar" yang ditulis Reza AA Wattimena (PT Grasindo, Jakarta, 2008).

Untuk memudahkan pemahaman Anda terkait materi ini, Anda juga harus menguasai bagian perkuliahan terdahulu terkait Konsep Dasar berikut ini:

Kembali kepada buku Wattimena. Sebagaimana saya utarakan dalam pertemuan kita di kelas, buku itu terdiri dari dua bagian, yaitu:

Bagian-1: Mengetuk Pintu GerbangFilsafat
Bagian-2: Ilmu Pengetahuan Dalam Bingkai Filsafat

Di  perkuliahan tatap muka ke-6, mari fokuskan diri Anda pada Bagian-1 buku itu dan mari kita bahas kembali bab per bab nya.

Namun demikian, untuk memahami blog ini Anda tentu sebaiknya membaca terlebih dahulu bukunya.  Dan, pastinya, Anda juga harus sudah mengikuti perkuliahan saya di kelas.

*
BAB 1

Apa Itu Filsafat?  Itulah subjudul Bab 1 Bagian I. Filsafat berasal dari kata Yunani, philosophia yang berarti cinta pada kebijaksanaan. 

Dapatkah Anda menurunkan definisi Anda sendiri untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud filsafat dan perbedaannya dengan  jenis pengetahuan manusia yang lain?

Ada banyak pertanyaan yang bersifat filosofis. Tapi, di balik semua pertanyaan itu, ada satu hal yang sama yakni: semua pertanyaan dimulai dengan penalaran rasional dan dijawab pula secara rasional.

Maka, sekali lagi saya sampaikan kepada Anda para mahasiswa saya: cobalah Anda definisikan dengan pernyataan/putusan Anda sendiri: Apakah filsafat itu?

*
Tiga Cabang Filsafat

Wattimena  selanjutnya menulis tentang tiga cabang utama filsafat, yang utamanya coba menjawab tiga pertanyaan utama ketika Anda berfikir dengan jalan filsafat, yaitu:

1.       Apa yang  ada?
2.       Apa yang dapat kita ketahui tentang apa yang ada itu?
3.       Dan bagaimana kita lakukan terhadapnya?

Dari ketiga pertanyaan di atas, Wattimena menyimpulkan adanya tiga cabang filsafat yaitu Metafisika, Epistemologi, dan Etika. 

Wattimena menulis,  “Metafisika adalah cabang filsafat yang merefleksikan hakikat dari dari realitas pada level yang paling abstrak. Yang kedua adalah Epistemologi, yaitu cabang filsafat yag merefleksikan tentang kapasitas pengetahuan manusia, hakikat pengetahuan, dan genesis pengetahuan manusia. Yang terakhir adalah Etika yaitu cabang filsafat yang merefleksikan tentang hakikat tindakan dan bagaimana manusia harus bertindak di dalam dunia."

*

Sebagaimana kita diskusikan di kelas, saya tidak sepenuhnya sepaham dengan Wattimena. Saya lebih memilih menggunakan tiga istilah yang lebih umum digunakan dalam Filsafat Ilmu guna menggambarkan tiga bidang kajian filsafat itu, yakni:

a. Ontologi: Berada dalam wilayah ada. Berasal dari kata Yunani onto (ada) dan logos (teori). Berarti, teori tentang "keberadaan" dari objek. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang sedang ditelaah? Bagaimana sifat hakikat dari objek itu dan segala yang terkait dengannya.  Terkait dengan Ilmu Komunikasi yang anda kaji, pertanyaan itu misalnya: apakah komunikasi yang menjadi objek kajian Ilmu Komunikasi? Ketika seseorang berbicara dengan Tuhan, apakah ini objek kajian Ilmu Komunikasi? Bagaimana pula komunikasi dengan hewan? Komunikasi dengan tumbuhan? Bagaimana pula komunikasi dengan sesama manusia? Jadi, sekali lagi, manakah yang menjadi objek kajian Ilmu Komunikasi dan mana yang bukan? Mengapa? dst.

b. Epistemologi: berada dalam wilayah pengetahuan. Berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (teori). Sehingga bisa dimaknai sebagai teori tentang pengetahuan terkait objek yang ditelaah itu. Misalnya, ketika objek yang ditelaah terkait Ilmu Komunikasi, pertanyaannya adalah: bagaimana atau dengan cara apa Anda membangun Ilmu Komunikasi? Bagaimana prosedurnya? Kalau begitu, bagaimana pula metodologinya?

c. Aksiologi: berada dalam wilayah nilai. Berasal dari bahasa Yunani aksion(nilai) dan logos (teori). Jadi, teori tentang nilai. Terkait Ilmu Komunikasi kita misalnya, pertanyaannya adalah: untuk tujuan apa Anda gunakan Ilmu Komunikasi yang Anda pelajari ini? Bagaimana kaitannya dengan kaidah-kaidah moral?

Membaca sampai di sini, bisakah Anda melihat persamaan dan/atau perbedaan apa yang ditulis Wattimena dan saya?

*

BAB 2

Bab 2 buku ini mengupas Ciri Filsafat. Namun saya hanya akan mengupas bagian yang penting dari bab ini, yaitu tentang kebenaran serta hubungan logis. Segala yang tidak memiliki relevansi atau dapat menjadi bias terkait pemahaman Anda akan saya singkirkan.

Selain itu, perlu Anda catat, bahwa walau themanya adalah sama tentang kebenaran serta hubungan logis, cara penyampaian  saya dan Wattimena adalah berbeda. Arah penjelasan saya lebih bertujuan untuk memberikan gambaran kepada Anda, para mahasiswa saya,  tentang hakikat kebenaran serta dasar berpikir logik: induktif dan deduktif.

*

Manusia dengan didorong naluri ingin tahunya, bertanya tentang sesuatu terkait segala sesuatu, mencoba menemukan jawaban. Hasil dari tahunya, sebagaimana sudah kita bahas, adalah pengetahuan. Manusia mendapatkan pengetahuannya melalui pengalaman, yaitu persentuhan objek alam dengan panca indera, baik melalui pengalaman dia sendiri maupun pengalaman orang lain yang disampaikan kepadanya.

Akan tetapi pengalaman semata, demikian hal ini sudah kita diskusikan di kelas, tidak otomatis mendatangkan pengetahuan. Manusia baru dikatakan berpengetahuan apabila demi pengalamannya mampu memberikan putusan atau pernyataan.

Namun demikian,  pengetahuan manusia yng tercermin dri putusannya ini bisa benar dan bisa  keliru. Pengetahuan manusia dikatakan benar apabila putusan yang diberikannya adalah sesuai dengan objeknya. Putusannya berkata kutub utara bersuhu dingin adalah benar karena putusan itu sesuai objeknya. Demikian sebaliknya.

Adalah segelas teh di meja saya. Anda mencicipi, saya juga mencicipi. Saya bilang teh ini pahit, Anda bilang manis. Apabila ada dua putusan terkait satu objek, maka salah satu pasti salah atau kedua-duanya salah. Saya bisa ngotot mengatakan bahwa teh ini pahit, Anda ngotot bilang manis. Putusan saya dan putusan anda bisa jadi subjektif, karena menggunakan kriteria kita masing-masing. Karenanya, kebenarannya bersifat subjektif. Kebenaran objektif adalah biarkan segelas teh itu bicara. Namun ia tidak dapat berkata-kata, kualitatif. Teh akan bicara melalui angka-angka, kuantitatif. Mari kita ukur kadar gulanya, jika kurang dari sekian persen adalah pahit dan jika lebih dari sekian persen adalah manis. Inilah kebenaran objektif. Biarkan objek berupa segelas teh itu yang bicara. Bukan menurut Anda atau saya yang subjektif.
  
Terkait dengan kebenaran ini, saya ingin kembali mengingatkam Anda tentang konsep kepercayaan - keyakinan - kepastian. Masih ingatkah Anda akan perbedaan di antara ketiganya? Manakah yang merupakan kebenaran objektif? Mana pulakah kebenaran subjektif?

*

Selanjutnya tentang berpikir logik, induktif dan deduktif. Berfikir secara ilmiah tidak lepas dari kedua hal ini.

Induktif adalah menarik kesimpulan dari yang khusus ke yang umum. Misalnya: perak jika dipanaskan mencair. Emas jika dipanaskan memuai. Tembaga  jika dipanaskan memuai. Maka kesimpulannya adalah semua logam jika dipanaskan memuai.

Sebaliknya, berfikir deduktif adalah menarik kesimpulan  dari yang umum ke yang khusus. Misalnya: Semua manusia mati. Yanto adalah manusia. Maka Yanto kelak pasti mati.

*

Bagian selanjutnya dari Bab 2 terkait Tidak Empiris, Daya Tarik Filsafat, serta Relevansi Filsafat menjadi tidak terlalu relevan untuk matakuliah kita dan karenanya saya tinggalkan. Demikian juga Bab 3 berjudul Membaca dan Memahami Tulisan Filsafat.

Maka,  mari menuju Bab 4.

*

Komentar saya terkait Bab IV yang berjudul Beberapa Cabang Umum Filsafat hakikatnya mengupas tiga wilayah filsafat yaitu wilayah ada, wilayah pengetahuan, dan wilayah nilai. Sebagaimana komentar saya sebelumnya, ketika Wattimena menggunakan istilah Metafisika, Epistemologi, dan Etika; saya lebih memilih untuk memakai istilah Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.

Dan, jika Anda cermati, alih-alih mengupas Epistemologi yang terkait dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, Bab 4 buku ini justeru berpanjang lebar mengupas masalah Etika. 

Terkait Etika yang diistilahkan Wattimena, saya lebih suka menggunakan kata Aksiologi. Berikut ini adalah pemahaman saya terkait Aksiologi yang ingin saya bagikan dengan Anda, yang hakikatnya bisa Anda petik dari sini.

*

Aksiologi berasal dari kata Yunani aksion: nilai.  Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah pilihan nilai-nilai etis dan moralitas atas tindakan manusia: apakah yang baik? Apa pula yang buruk dari kacamata etik? 

Sejarah Yunani menunjukkan, sejumlah filsuf mengemukakan pendapat tentang nilai kebaikan, yakni tentang apa yang baik dan buruk bagi hidup manusia.
Sokrates  bertanya, apakah tujuan  hidup manusia?  Apakah  hakikat “nilai baik” bagi manusia?
Pertanyaan ini coba dijawab oleh para muridnya,  dan pada akhirnya melahirkan sejumlah aliran filsafat moral.  
 

 
HEDONISME 

 
Sejak kelahirannya, manusia berusaha mendapatkan kesenangan. Itulah yang membuat bayi menangis jika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Jika kesenangan sudah tercapai, ia tidak mencari yang lain lagi, tangisnya pun berhenti.  Manusia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan.  Maka  kesenangan itulah yang baik, dan ketidaksenangan adalah buruk. Artinya, jika Anda harus memilih, pilihlah sesuatu yang menyenangkan.
 
Bagi Aristippos (sekitar 433 – 355 sM), seorang murid Sokrates, kesenangan bersifat badani dan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau atau masa depan karena hanya sekedar ingatan dan antisipasi kesenangan. Artinya, yang baik adalah kesenangan kini dan di sini pada hari ini;  bersifat badani, aktual, dan individual.
 
Aristippos menyatakan, kesenangan ada batasnya, yang penting: pengendalian diri. Inilah tindakan yang baik dari segi moral.
 
Aristippos menegaskan, pengendalian diri bukan berarti meninggalkan kesenangan, tapi menggunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terhanyut olehnya.
 
Dewasa ini, hedonisme berkembang dan dimaknai sebagai faham yang menyatakan tindakan baik ialah yang bisa mendatangkan  hedone: kenikmatan, kesenangan,  dan kepuasan rasa.
 
Banyak tindakan manusia bertujuan untuk mencapai kepuasan ini,  dan bisa dilihat aplikasinya pada  ahli psikoanalisis Freud: tindakan manusia adalah untuk mencapai kepuasan libido,  dan bagi  Adler adalah untuk mencapai kekuasaan.
Intinya, upaya mencapai kepuasan merupakan pendorong tindakan manusia, apa pun bentuk kepuasan itu. Dalam perkembangannya, pengertian hedonisme telah melenceng dari ajaran awalnya dan   lebih dimaknai sebagai individu yang  mementingkan kesenangan fisik duniawi: hari ini punya hari ini dan hari esok soal nanti. Nikmatilah hari ini dalam limpahan kesenangan.
 
Bagi K. Bertens, hedonisme adalah individualis yang egoistis  karena mementingkan diri sendiri: saya duluan, biar orang lain belakangan (2002: 240-241).
 
 
EUDOMINISME
 
 
Jika dirunut ke belakang, akar pemikiran eudominisme  dapat ditemui pada Aristoteles (384 – 322 sM),  tertuang dalam Ethika Nikomakeia.
 
Dalam kegiatannya, demikian Aristoteles,  setiap manusia mengejar tujuan akhir dan terbaik bagi hidupnya, yaitu  kebahagiaan: eudaemonia.  Dari sinilah akar kata eudominisme.  Tapi, tidak ada ukuran kebahagiaan yang sama bagi setiap individu.  Ada yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kesenangan fisik atau materi  –   maka ia hedonis juga,  misalnya dengan berpendapat uang dan kekayaan adalah kebahagiaannya. Atau, mungkin kedudukan.
 
Namun Aristoteles mengingatkan,  itu semua adalah semu dan bukan tujuan akhir yang ingin dicapai.  Tujuan akhir pemain suling adalah bermain suling dengan baik. Tujuan akhir tukang sepatu adalah membuat sepatu yang baik. Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik, ia akan mencapai tujuan akhirnya untuk menjadi manusia yang baik, dan  itulah kebahagiaan hakiki, kesenangan rohani.  Inilah fungsi khas manusia,  yang membedakannya  dengan hewan.
 
Aristoteles berpendapat, terdapat dua keutamaan manusia dibandingkan makhluk lain, yaitu  keutamaan intektual (akal) dan keutamaan moral (budi). Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan moral,  bersama nalar,  menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari.
 
Aristoteles berpendapat, manusia  adalah baik dari segi moral  jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan.
 
UTILITARIANISME
 

Aliran filsafat moral berikutnya adalah utilitarisme. Bagi utilitarisme,  yang baik adalah yang utilis: berguna.
 
Jika dua aliran filsafat moral sebelumnya relatif berada pada tataran individu, utilitarisme berada pada tataran masyarakat atau negara.
 
Aliran ini awalnya berkembang di negara-negara berbahasa Inggris; dimaksudkan sebagai dasar etis memperbaiki hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Salah satu tokohnya, Jeremy Bentham (1748 – 1832) dengan buku Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 1789.
 
Bentham  memulai pendapatnya dengan menekankan bahwa manusia sesuai hakikatnya  ditempatkan di bawah dua titik yang berkuasa penuh: ketidaksenangan dan kesenangan. Menurut hakikatnya itu, manusia mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan,  bebas dari kesusahan.  Maka, suatu perbuatan akan dinilai baik atau buruk  sejauh dapat meningkatkan dan memenuhi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Pada  titik ini, Bentham meninggalkan tataran individu, masuk ke tataran masyarakat.  Bagi Bentham, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, yakni masyarakat keseluruhan.
 
Dalam perkembangan utilitarisme dewasa ini,  Poedjawijatna (1996: 45-46)  mencatat,  suatu perbuatan dapat dimaknai baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi semua orang. Karena, jika yang berguna bagi individu,  ia menjadi  individualisme; dan jika bagi masyarakat/negara,   ia adalah sosialisme. Persoalannya, menurut Poedjawijatna,  yang berguna bagi individu belum tentu berguna bagi negara/masayarakat;  demikian sebaliknya .
 
Sementara K. Bertens (2002:251-252)  mengingatkan, prinsip utilitarisme dewasa ini tidak memberi jaminan bahwa kebahagiaan dibagi dengan adil.  Jika dalam suatu masyarakat mayoritas hidup makmur sejahtera dan minoritas serba miskin,  bagi utilitarisme  masyarakat seperti itu  sudah diatur dengan baik.  Lantas, bagaimana hak minoritas?  Artinya bagi utilitarisme, demikian Bertens, tidak ada tempat untuk hak. Padahal, hak merupakan suatu kategori moral yang sangat penting .
 
*
 
Berdasarkan uraian saya terkait aliran filsafat moral ini, harapannya adalah Anda bisa memahami apa yang ditulis sedemikian panjang lebarnya oleh Wattimena.