Filsafat Sains dan Teknologi
Selasa, 01 Oktober 2013
Minggu, 29 September 2013
Bagian 1: MENGETUK GERBANG FILSAFAT
Selamat siang,
Blog ini saya tujukan kepada Anda, para Mahasiswa saya, sebagai pelengkap materi kuliah berikut melengkapi buku pegangan bertajuk, "Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar" yang ditulis Reza AA Wattimena (PT Grasindo, Jakarta, 2008).
Untuk memudahkan pemahaman Anda terkait materi ini, Anda juga harus menguasai bagian perkuliahan terdahulu terkait Konsep Dasar berikut ini:
Kembali kepada buku Wattimena. Sebagaimana saya utarakan dalam pertemuan kita di kelas, buku itu terdiri dari dua bagian, yaitu:
Bagian-1: Mengetuk Pintu GerbangFilsafat
Bagian-2: Ilmu Pengetahuan Dalam Bingkai Filsafat
Di perkuliahan tatap muka ke-6, mari fokuskan diri Anda pada Bagian-1 buku itu dan mari kita bahas kembali bab per bab nya.
Namun demikian, untuk memahami blog ini Anda tentu sebaiknya membaca terlebih dahulu bukunya. Dan, pastinya, Anda juga harus sudah mengikuti perkuliahan saya di kelas.
Sebagaimana kita diskusikan di kelas, saya tidak sepenuhnya sepaham dengan Wattimena. Saya lebih memilih menggunakan tiga istilah yang lebih umum digunakan dalam
Filsafat Ilmu guna menggambarkan tiga bidang kajian filsafat itu, yakni:
a. Ontologi: Berada dalam wilayah ada. Berasal dari kata Yunani onto (ada) dan logos (teori). Berarti, teori tentang "keberadaan" dari objek. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang sedang ditelaah? Bagaimana sifat hakikat dari objek itu dan segala yang terkait dengannya. Terkait dengan Ilmu Komunikasi yang anda kaji, pertanyaan itu misalnya: apakah komunikasi yang menjadi objek kajian Ilmu Komunikasi? Ketika seseorang berbicara dengan Tuhan, apakah ini objek kajian Ilmu Komunikasi? Bagaimana pula komunikasi dengan hewan? Komunikasi dengan tumbuhan? Bagaimana pula komunikasi dengan sesama manusia? Jadi, sekali lagi, manakah yang menjadi objek kajian Ilmu Komunikasi dan mana yang bukan? Mengapa? dst.
b. Epistemologi: berada dalam wilayah pengetahuan. Berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (teori). Sehingga bisa dimaknai sebagai teori tentang pengetahuan terkait objek yang ditelaah itu. Misalnya, ketika objek yang ditelaah terkait Ilmu Komunikasi, pertanyaannya adalah: bagaimana atau dengan cara apa Anda membangun Ilmu Komunikasi? Bagaimana prosedurnya? Kalau begitu, bagaimana pula metodologinya?
c. Aksiologi: berada dalam wilayah nilai. Berasal dari bahasa Yunani aksion(nilai) dan logos (teori). Jadi, teori tentang nilai. Terkait Ilmu Komunikasi kita misalnya, pertanyaannya adalah: untuk tujuan apa Anda gunakan Ilmu Komunikasi yang Anda pelajari ini? Bagaimana kaitannya dengan kaidah-kaidah moral?
Membaca sampai di sini, bisakah Anda melihat persamaan dan/atau perbedaan apa yang ditulis Wattimena dan saya?
*
BAB 2
Bab 2 buku ini mengupas Ciri Filsafat. Namun saya hanya akan mengupas bagian yang penting dari bab ini, yaitu tentang kebenaran serta hubungan logis. Segala yang tidak memiliki relevansi atau dapat menjadi bias terkait pemahaman Anda akan saya singkirkan.
Selain itu, perlu Anda catat, bahwa walau themanya adalah sama tentang kebenaran serta hubungan logis, cara penyampaian saya dan Wattimena adalah berbeda. Arah penjelasan saya lebih bertujuan untuk memberikan gambaran kepada Anda, para mahasiswa saya, tentang hakikat kebenaran serta dasar berpikir logik: induktif dan deduktif.
*
Manusia dengan didorong naluri ingin tahunya, bertanya tentang sesuatu terkait segala sesuatu, mencoba menemukan jawaban. Hasil dari tahunya, sebagaimana sudah kita bahas, adalah pengetahuan. Manusia mendapatkan pengetahuannya melalui pengalaman, yaitu persentuhan objek alam dengan panca indera, baik melalui pengalaman dia sendiri maupun pengalaman orang lain yang disampaikan kepadanya.
Akan tetapi pengalaman semata, demikian hal ini sudah kita diskusikan di kelas, tidak otomatis mendatangkan pengetahuan. Manusia baru dikatakan berpengetahuan apabila demi pengalamannya mampu memberikan putusan atau pernyataan.
Namun demikian, pengetahuan manusia yng tercermin dri putusannya ini bisa benar dan bisa keliru. Pengetahuan manusia dikatakan benar apabila putusan yang diberikannya adalah sesuai dengan objeknya. Putusannya berkata kutub utara bersuhu dingin adalah benar karena putusan itu sesuai objeknya. Demikian sebaliknya.
Adalah segelas teh di meja saya. Anda mencicipi, saya juga mencicipi. Saya bilang teh ini pahit, Anda bilang manis. Apabila ada dua putusan terkait satu objek, maka salah satu pasti salah atau kedua-duanya salah. Saya bisa ngotot mengatakan bahwa teh ini pahit, Anda ngotot bilang manis. Putusan saya dan putusan anda bisa jadi subjektif, karena menggunakan kriteria kita masing-masing. Karenanya, kebenarannya bersifat subjektif. Kebenaran objektif adalah biarkan segelas teh itu bicara. Namun ia tidak dapat berkata-kata, kualitatif. Teh akan bicara melalui angka-angka, kuantitatif. Mari kita ukur kadar gulanya, jika kurang dari sekian persen adalah pahit dan jika lebih dari sekian persen adalah manis. Inilah kebenaran objektif. Biarkan objek berupa segelas teh itu yang bicara. Bukan menurut Anda atau saya yang subjektif.
Terkait dengan kebenaran ini, saya ingin kembali mengingatkam Anda tentang konsep kepercayaan - keyakinan - kepastian. Masih ingatkah Anda akan perbedaan di antara ketiganya? Manakah yang merupakan kebenaran objektif? Mana pulakah kebenaran subjektif?
*
Selanjutnya tentang berpikir logik, induktif dan deduktif. Berfikir secara ilmiah tidak lepas dari kedua hal ini.
Induktif adalah menarik kesimpulan dari yang khusus ke yang umum. Misalnya: perak jika dipanaskan mencair. Emas jika dipanaskan memuai. Tembaga jika dipanaskan memuai. Maka kesimpulannya adalah semua logam jika dipanaskan memuai.
Sebaliknya, berfikir deduktif adalah menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus. Misalnya: Semua manusia mati. Yanto adalah manusia. Maka Yanto kelak pasti mati.
*
Bagian selanjutnya dari Bab 2 terkait Tidak Empiris, Daya Tarik Filsafat, serta Relevansi Filsafat menjadi tidak terlalu relevan untuk matakuliah kita dan karenanya saya tinggalkan. Demikian juga Bab 3 berjudul Membaca dan Memahami Tulisan Filsafat.
Maka, mari menuju Bab 4.
*
Komentar saya terkait Bab IV yang berjudul Beberapa Cabang Umum Filsafat hakikatnya mengupas tiga wilayah filsafat yaitu wilayah ada, wilayah pengetahuan, dan wilayah nilai. Sebagaimana komentar saya sebelumnya, ketika Wattimena menggunakan istilah Metafisika, Epistemologi, dan Etika; saya lebih memilih untuk memakai istilah Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
Dan, jika Anda cermati, alih-alih mengupas Epistemologi yang terkait dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, Bab 4 buku ini justeru berpanjang lebar mengupas masalah Etika.
Terkait Etika yang diistilahkan Wattimena, saya lebih suka menggunakan kata Aksiologi. Berikut ini adalah pemahaman saya terkait Aksiologi yang ingin saya bagikan dengan Anda, yang hakikatnya bisa Anda petik dari sini.
*
Aksiologi berasal dari kata Yunani aksion: nilai. Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah pilihan nilai-nilai etis dan moralitas atas tindakan manusia: apakah yang baik? Apa pula yang buruk dari kacamata etik?
Sejarah Yunani menunjukkan, sejumlah filsuf mengemukakan pendapat tentang nilai kebaikan, yakni tentang apa yang baik dan buruk bagi hidup manusia.
Blog ini saya tujukan kepada Anda, para Mahasiswa saya, sebagai pelengkap materi kuliah berikut melengkapi buku pegangan bertajuk, "Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar" yang ditulis Reza AA Wattimena (PT Grasindo, Jakarta, 2008).
Untuk memudahkan pemahaman Anda terkait materi ini, Anda juga harus menguasai bagian perkuliahan terdahulu terkait Konsep Dasar berikut ini:
- 1.1. KONSEP DASAR: Pengantar
- 1.2. Pengetahuan
- 1.3. Putusan
- 1.4. Kebenaran
- 1.5. Kepercayaan, Keyakinan, Kepastian
- 1.6. Pengetahuan Yang Umum dan Yang Khusus
- 1.7. Sejarah Singkat Lahirnya Ilmu Pengetahuan
- 1.8. Perbedaan Filsafat, Teologi, dan Ilmu Pengetahuan
- 1.9. Berfilsafat itu Mudah
- 1.10. Bidang Kajian Filsafat
- 1.11. Pengetahuan dan Ilmu PengetahuanFilsafat
Kembali kepada buku Wattimena. Sebagaimana saya utarakan dalam pertemuan kita di kelas, buku itu terdiri dari dua bagian, yaitu:
Bagian-1: Mengetuk Pintu GerbangFilsafat
Bagian-2: Ilmu Pengetahuan Dalam Bingkai Filsafat
Di perkuliahan tatap muka ke-6, mari fokuskan diri Anda pada Bagian-1 buku itu dan mari kita bahas kembali bab per bab nya.
Namun demikian, untuk memahami blog ini Anda tentu sebaiknya membaca terlebih dahulu bukunya. Dan, pastinya, Anda juga harus sudah mengikuti perkuliahan saya di kelas.
*
BAB 1
Apa Itu Filsafat? Itulah subjudul Bab 1 Bagian I. Filsafat berasal dari kata Yunani, philosophia yang berarti cinta pada kebijaksanaan.
Apa Itu Filsafat? Itulah subjudul Bab 1 Bagian I. Filsafat berasal dari kata Yunani, philosophia yang berarti cinta pada kebijaksanaan.
Dapatkah Anda menurunkan definisi Anda sendiri untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud filsafat dan perbedaannya dengan jenis pengetahuan manusia yang lain?
Ada banyak pertanyaan yang bersifat filosofis. Tapi, di
balik semua pertanyaan itu, ada satu hal yang sama yakni: semua pertanyaan
dimulai dengan penalaran rasional dan dijawab pula secara rasional.
Maka, sekali lagi saya sampaikan kepada Anda para mahasiswa saya:
cobalah Anda definisikan dengan pernyataan/putusan Anda sendiri: Apakah
filsafat itu?
*
Tiga Cabang Filsafat
Wattimena selanjutnya menulis tentang tiga cabang utama filsafat, yang utamanya coba menjawab tiga pertanyaan utama ketika Anda berfikir dengan jalan filsafat, yaitu:
1.
Apa yang
ada?
2.
Apa yang dapat kita ketahui tentang apa yang ada
itu?
3.
Dan bagaimana kita lakukan terhadapnya?
Dari ketiga pertanyaan di atas, Wattimena menyimpulkan adanya tiga
cabang filsafat yaitu Metafisika, Epistemologi, dan Etika.
Wattimena menulis,
“Metafisika adalah cabang filsafat yang merefleksikan hakikat dari dari
realitas pada level yang paling abstrak. Yang kedua adalah Epistemologi, yaitu
cabang filsafat yag merefleksikan tentang kapasitas pengetahuan manusia, hakikat pengetahuan, dan genesis pengetahuan manusia. Yang terakhir adalah
Etika yaitu cabang filsafat yang merefleksikan tentang hakikat tindakan dan
bagaimana manusia harus bertindak di dalam dunia."
*
a. Ontologi: Berada dalam wilayah ada. Berasal dari kata Yunani onto (ada) dan logos (teori). Berarti, teori tentang "keberadaan" dari objek. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang sedang ditelaah? Bagaimana sifat hakikat dari objek itu dan segala yang terkait dengannya. Terkait dengan Ilmu Komunikasi yang anda kaji, pertanyaan itu misalnya: apakah komunikasi yang menjadi objek kajian Ilmu Komunikasi? Ketika seseorang berbicara dengan Tuhan, apakah ini objek kajian Ilmu Komunikasi? Bagaimana pula komunikasi dengan hewan? Komunikasi dengan tumbuhan? Bagaimana pula komunikasi dengan sesama manusia? Jadi, sekali lagi, manakah yang menjadi objek kajian Ilmu Komunikasi dan mana yang bukan? Mengapa? dst.
b. Epistemologi: berada dalam wilayah pengetahuan. Berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (teori). Sehingga bisa dimaknai sebagai teori tentang pengetahuan terkait objek yang ditelaah itu. Misalnya, ketika objek yang ditelaah terkait Ilmu Komunikasi, pertanyaannya adalah: bagaimana atau dengan cara apa Anda membangun Ilmu Komunikasi? Bagaimana prosedurnya? Kalau begitu, bagaimana pula metodologinya?
c. Aksiologi: berada dalam wilayah nilai. Berasal dari bahasa Yunani aksion(nilai) dan logos (teori). Jadi, teori tentang nilai. Terkait Ilmu Komunikasi kita misalnya, pertanyaannya adalah: untuk tujuan apa Anda gunakan Ilmu Komunikasi yang Anda pelajari ini? Bagaimana kaitannya dengan kaidah-kaidah moral?
Membaca sampai di sini, bisakah Anda melihat persamaan dan/atau perbedaan apa yang ditulis Wattimena dan saya?
*
BAB 2
Bab 2 buku ini mengupas Ciri Filsafat. Namun saya hanya akan mengupas bagian yang penting dari bab ini, yaitu tentang kebenaran serta hubungan logis. Segala yang tidak memiliki relevansi atau dapat menjadi bias terkait pemahaman Anda akan saya singkirkan.
Selain itu, perlu Anda catat, bahwa walau themanya adalah sama tentang kebenaran serta hubungan logis, cara penyampaian saya dan Wattimena adalah berbeda. Arah penjelasan saya lebih bertujuan untuk memberikan gambaran kepada Anda, para mahasiswa saya, tentang hakikat kebenaran serta dasar berpikir logik: induktif dan deduktif.
*
Manusia dengan didorong naluri ingin tahunya, bertanya tentang sesuatu terkait segala sesuatu, mencoba menemukan jawaban. Hasil dari tahunya, sebagaimana sudah kita bahas, adalah pengetahuan. Manusia mendapatkan pengetahuannya melalui pengalaman, yaitu persentuhan objek alam dengan panca indera, baik melalui pengalaman dia sendiri maupun pengalaman orang lain yang disampaikan kepadanya.
Akan tetapi pengalaman semata, demikian hal ini sudah kita diskusikan di kelas, tidak otomatis mendatangkan pengetahuan. Manusia baru dikatakan berpengetahuan apabila demi pengalamannya mampu memberikan putusan atau pernyataan.
Namun demikian, pengetahuan manusia yng tercermin dri putusannya ini bisa benar dan bisa keliru. Pengetahuan manusia dikatakan benar apabila putusan yang diberikannya adalah sesuai dengan objeknya. Putusannya berkata kutub utara bersuhu dingin adalah benar karena putusan itu sesuai objeknya. Demikian sebaliknya.
Adalah segelas teh di meja saya. Anda mencicipi, saya juga mencicipi. Saya bilang teh ini pahit, Anda bilang manis. Apabila ada dua putusan terkait satu objek, maka salah satu pasti salah atau kedua-duanya salah. Saya bisa ngotot mengatakan bahwa teh ini pahit, Anda ngotot bilang manis. Putusan saya dan putusan anda bisa jadi subjektif, karena menggunakan kriteria kita masing-masing. Karenanya, kebenarannya bersifat subjektif. Kebenaran objektif adalah biarkan segelas teh itu bicara. Namun ia tidak dapat berkata-kata, kualitatif. Teh akan bicara melalui angka-angka, kuantitatif. Mari kita ukur kadar gulanya, jika kurang dari sekian persen adalah pahit dan jika lebih dari sekian persen adalah manis. Inilah kebenaran objektif. Biarkan objek berupa segelas teh itu yang bicara. Bukan menurut Anda atau saya yang subjektif.
Terkait dengan kebenaran ini, saya ingin kembali mengingatkam Anda tentang konsep kepercayaan - keyakinan - kepastian. Masih ingatkah Anda akan perbedaan di antara ketiganya? Manakah yang merupakan kebenaran objektif? Mana pulakah kebenaran subjektif?
*
Selanjutnya tentang berpikir logik, induktif dan deduktif. Berfikir secara ilmiah tidak lepas dari kedua hal ini.
Induktif adalah menarik kesimpulan dari yang khusus ke yang umum. Misalnya: perak jika dipanaskan mencair. Emas jika dipanaskan memuai. Tembaga jika dipanaskan memuai. Maka kesimpulannya adalah semua logam jika dipanaskan memuai.
Sebaliknya, berfikir deduktif adalah menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus. Misalnya: Semua manusia mati. Yanto adalah manusia. Maka Yanto kelak pasti mati.
*
Bagian selanjutnya dari Bab 2 terkait Tidak Empiris, Daya Tarik Filsafat, serta Relevansi Filsafat menjadi tidak terlalu relevan untuk matakuliah kita dan karenanya saya tinggalkan. Demikian juga Bab 3 berjudul Membaca dan Memahami Tulisan Filsafat.
Maka, mari menuju Bab 4.
*
Komentar saya terkait Bab IV yang berjudul Beberapa Cabang Umum Filsafat hakikatnya mengupas tiga wilayah filsafat yaitu wilayah ada, wilayah pengetahuan, dan wilayah nilai. Sebagaimana komentar saya sebelumnya, ketika Wattimena menggunakan istilah Metafisika, Epistemologi, dan Etika; saya lebih memilih untuk memakai istilah Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
Dan, jika Anda cermati, alih-alih mengupas Epistemologi yang terkait dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, Bab 4 buku ini justeru berpanjang lebar mengupas masalah Etika.
Terkait Etika yang diistilahkan Wattimena, saya lebih suka menggunakan kata Aksiologi. Berikut ini adalah pemahaman saya terkait Aksiologi yang ingin saya bagikan dengan Anda, yang hakikatnya bisa Anda petik dari sini.
*
Aksiologi berasal dari kata Yunani aksion: nilai. Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah pilihan nilai-nilai etis dan moralitas atas tindakan manusia: apakah yang baik? Apa pula yang buruk dari kacamata etik?
Sejarah Yunani menunjukkan, sejumlah filsuf mengemukakan pendapat tentang nilai kebaikan, yakni tentang apa yang baik dan buruk bagi hidup manusia.
Sokrates
bertanya, apakah tujuan hidup manusia? Apakah hakikat
“nilai baik” bagi manusia?
Pertanyaan
ini coba dijawab oleh para muridnya, dan pada akhirnya melahirkan
sejumlah aliran filsafat moral.
HEDONISME
Sejak
kelahirannya, manusia berusaha mendapatkan kesenangan. Itulah yang membuat bayi
menangis jika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Jika kesenangan
sudah tercapai, ia tidak mencari yang lain lagi, tangisnya pun berhenti.
Manusia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Maka
kesenangan itulah yang baik, dan ketidaksenangan adalah buruk. Artinya,
jika Anda harus memilih, pilihlah sesuatu yang menyenangkan.
Bagi
Aristippos (sekitar 433 – 355 sM), seorang murid Sokrates, kesenangan bersifat
badani dan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau atau masa depan karena
hanya sekedar ingatan dan antisipasi kesenangan. Artinya, yang baik adalah
kesenangan kini dan di sini pada hari ini; bersifat badani, aktual, dan
individual.
Aristippos
menyatakan, kesenangan ada batasnya, yang penting: pengendalian diri. Inilah
tindakan yang baik dari segi moral.
Aristippos
menegaskan, pengendalian diri bukan berarti meninggalkan kesenangan, tapi
menggunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terhanyut olehnya.
Dewasa
ini, hedonisme berkembang dan dimaknai sebagai faham yang menyatakan tindakan
baik ialah yang bisa mendatangkan hedone:
kenikmatan, kesenangan, dan kepuasan rasa.
Banyak
tindakan manusia bertujuan untuk mencapai kepuasan ini, dan bisa dilihat
aplikasinya pada ahli psikoanalisis Freud: tindakan manusia adalah untuk
mencapai kepuasan libido, dan bagi Adler adalah untuk mencapai
kekuasaan.
Intinya,
upaya mencapai kepuasan merupakan pendorong tindakan manusia, apa pun bentuk
kepuasan itu. Dalam perkembangannya, pengertian hedonisme telah melenceng dari
ajaran awalnya dan lebih dimaknai sebagai individu yang
mementingkan kesenangan fisik duniawi: hari ini punya hari ini dan hari
esok soal nanti. Nikmatilah hari ini dalam limpahan kesenangan.
Bagi
K. Bertens, hedonisme adalah individualis yang egoistis karena
mementingkan diri sendiri: saya duluan, biar orang lain belakangan (2002:
240-241).
EUDOMINISME
Jika dirunut ke belakang, akar pemikiran eudominisme dapat ditemui pada Aristoteles (384 – 322 sM), tertuang dalam Ethika Nikomakeia.
Dalam kegiatannya, demikian Aristoteles, setiap manusia mengejar tujuan akhir dan terbaik bagi hidupnya, yaitu kebahagiaan: eudaemonia.
Dari sinilah akar kata eudominisme. Tapi, tidak ada ukuran kebahagiaan
yang sama bagi setiap individu. Ada yang mengatakan bahwa kebahagiaan
adalah kesenangan fisik atau materi – maka ia hedonis juga, misalnya
dengan berpendapat uang dan kekayaan adalah kebahagiaannya. Atau,
mungkin kedudukan.
Namun Aristoteles mengingatkan, itu semua adalah semu dan bukan
tujuan akhir yang ingin dicapai. Tujuan akhir pemain suling adalah
bermain suling dengan baik. Tujuan akhir tukang sepatu adalah membuat
sepatu yang baik. Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik, ia
akan mencapai tujuan akhirnya untuk menjadi manusia yang baik, dan
itulah kebahagiaan hakiki, kesenangan rohani. Inilah fungsi khas
manusia, yang membedakannya dengan hewan.
Aristoteles berpendapat, terdapat dua keutamaan manusia dibandingkan
makhluk lain, yaitu keutamaan intektual (akal) dan keutamaan moral
(budi). Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri.
Dengan keutamaan moral, bersama nalar, menjalankan pilihan-pilihan
yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari.
Aristoteles berpendapat, manusia adalah baik dari segi moral jika
selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan
moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang
seperti itu adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan.
UTILITARIANISME
Aliran filsafat moral berikutnya adalah utilitarisme. Bagi utilitarisme, yang baik adalah yang utilis: berguna.
Jika dua aliran filsafat moral sebelumnya relatif berada pada tataran
individu, utilitarisme berada pada tataran masyarakat atau negara.
Aliran ini awalnya berkembang di negara-negara berbahasa Inggris;
dimaksudkan sebagai dasar etis memperbaiki hukum Inggris, khususnya
hukum pidana. Salah satu tokohnya, Jeremy Bentham (1748 – 1832) dengan
buku Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 1789.
Bentham memulai pendapatnya dengan menekankan bahwa manusia sesuai
hakikatnya ditempatkan di bawah dua titik yang berkuasa penuh:
ketidaksenangan dan kesenangan. Menurut hakikatnya itu, manusia mencari
kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia
memiliki kesenangan, bebas dari kesusahan. Maka, suatu perbuatan akan
dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan dan memenuhi
kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Pada titik ini, Bentham
meninggalkan tataran individu, masuk ke tataran masyarakat. Bagi
Bentham, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang
kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, yakni masyarakat
keseluruhan.
Dalam perkembangan utilitarisme dewasa ini, Poedjawijatna (1996:
45-46) mencatat, suatu perbuatan dapat dimaknai baik jika menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi semua orang. Karena, jika yang berguna bagi
individu, ia menjadi individualisme; dan jika bagi masyarakat/negara,
ia adalah sosialisme. Persoalannya, menurut Poedjawijatna, yang
berguna bagi individu belum tentu berguna bagi negara/masayarakat;
demikian sebaliknya .
Sementara K. Bertens (2002:251-252) mengingatkan, prinsip
utilitarisme dewasa ini tidak memberi jaminan bahwa kebahagiaan dibagi
dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas hidup makmur
sejahtera dan minoritas serba miskin, bagi utilitarisme masyarakat
seperti itu sudah diatur dengan baik. Lantas, bagaimana hak minoritas?
Artinya bagi utilitarisme, demikian Bertens, tidak ada tempat untuk
hak. Padahal, hak merupakan suatu kategori moral yang sangat penting .
*
Berdasarkan uraian saya terkait aliran filsafat moral ini, harapannya adalah Anda bisa memahami apa yang ditulis sedemikian panjang lebarnya oleh Wattimena.
Langganan:
Postingan (Atom)